Empat Koridor Busway Stop Beroperasi!

Bener ga ya?

DUA
bulan lagi, bus Transjakarta koridor IV, V, VI, dan VII tidak
beroperasi. Ini berarti, ribuan penumpang yang biasanya menggunakan bus
di koridor tersebut bakal telantar.

Tidak beroperasinya bus-bus
Transjakarta di keempat koridor tersebut disebabkan kebijakan Pemprov
DKI yang hanya menanggung 85 persen biaya operasi. Ironisnya, keputusan
ini diambil sepihak. Dengan demikian, kedua konsorsium yang menjadi
operator bus Transjakarta di empat koridor itu harus nombok.

Lantaran kedua konsorsium tak sanggup bertahan dalam situasi itu,
pengoperasian bus-bus Transjakarta di keempat koridor tersebut bisa
berhenti total. Kedua konsorsium tersebut adalah PT Jakarta Trans
Metropolitan (JTM) yang mengelola koridor IV dan VI dan PT Jakarta Mega
Trans (JMT) di koridor V dan VII.

"Dengan bayaran sebesar itu, kami perkirakan operator hanya bertahan
sampai dua atau tiga bulan ke depan. Setelah itu... saya tidak tahu,
mungkin bus-bus tidak bisa lagi beroperasi," ujar Direktur Teknik dan
Operasi JTM, I Gusti Ngurah Oka, di kantornya di Kramatjati, Jakarta
Timur, Sabtu (11/10).

Pengurangan biaya operasional menjadi 85 persen dilakukan secara
sepihak oleh Pemprov DKI melalui Instruksi Gubernur (Ingub) No 99 Tahun
2008 tertanggal 21 Agustus 2008. Dengan demikian, dari biaya
operasional per bus yang semula disepakati Rp 12.885 per km, Pemprov
DKI hanya membayar 85 persennya atau sekitar Rp 10.950. Meski Ingub ini
terbit pada 21 Agustus 2008, isinya diberlakukan sejak pembayaran Juni
2008 atau berlaku surut.

Seperti diketahui, bus Transjakarta koridor IV melayani rute
Dukuhatas-Pulogadung, koridor V: Kampungmelayu-Ancol, koridor VI:
Ragunan-Dukuh Atas, dan koridor VII: Kampungrambutan-Kampungmelayu.
Koridor IV dan VI dilayani oleh 41 bus, sedangkan koridor V dan VII
dilayani oleh 51 bus biasa dan 10 bus tempel (articulated bus).

Kedua konsorsium, yakni JMT dan JTM merupakan perusahaan yang didirikan
bersama oleh sejumlah operator bus kota, seperti Mayasari Bakti, PPD,
dan Steady Safe. Kedua konsorsium itu mulai menangani operasional bus
Transjakarta di keempat koridor itu sejak awal 2007 berdasarkan
perjanjian kerja sama (PKS) dengan JTM dan JMT.

Dalam praktiknya, kedua konsorsium ini hanya mengantongi surat perintah
kerja (SPK) yang dikeluarkan oleh Badan Layanan Umum (BLU)
Transjakarta. Dalam SPK disebutkan bahwa Pemprov DKI akan membayar
biaya operasional Rp 12.885 per kilometer kepada perusahaan tersebut.

Kesepakatan itu kemudian diputuskan secara sepihak dengan keluarnya
Ingub No 99 tahun 2008 yang diteken oleh Wagub DKI Prijanto. Dalam
ingub itu disebutkan bahwa kedua perusahaan itu hanya menerima
pembayaran atau uang jasa operator sebesar 85 persen dari nilai yang
telah disepakati sebelumnya (Rp 12.885/km).

Terbitnya ingub itu sebagai tindak lanjut dari terbitnya Pergub No
123/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Operator Busway di DKI Jakarta
yang intinya menyatakan pada pengadaan armada busway, 60 persennya
dilakukan oleh konsorsium dan 40 persennya oleh pemenang lelang.
Atas
dasar inilah BLU Transjakarta, sekitar Desember 2007, mengadakan lelang
pengadaan 84 bus Transjakarta.

Pengadaan ini untuk melengkapi kebutuhan armada koridor IV-VII yang
baru berjumlah 122 bus. Ke-84 bus tersebut terdiri atas 13 bus gandeng
untuk koridor V, 20 bus single untuk koridor IV, 20 bus single untuk
koridor IV, dan 31 bus single untuk koridor VII.

Pergub ini juga mengatur penyesuaian pembayaran, yaitu jika biaya
operasional per kilometer hasil lelang lebih rendah dibanding biaya
operasional per kilometer yang telah dibayarkan kepada JTM dan JMT, maka kedua konsorsium ini akan dibayar sesuai dengan hasil lelang.

Belakangan, PO Primajasa menjadi pemenang lelang di koridor IV dengan
biaya operasional Rp 9.536/km. Lelang koridor VII dimenangkan PO Lorena
dengan biaya operasional Rp 9.443/km. Lorena juga memenangi tender bus
tempel di koridor V (Rp 16.691/km), sedangkan Primajasa memenangkan
tender koridor VI (Rp 9.371/km).

Karena harga lelang lebih murah dari harga yang sudah dibayar ke
konsorsium, maka Pemprov DKI membayar JTM dan JMT sesuai hasil lelang.
Tetapi, kedua JTM dan JMT itu menolak sehingga diambil jalan tengah
yakni mereka dibayar 85 persen dari Rp 12.885 sampai ada kesepakatan
harga.

"Sampai kapan pun kami tidak akan setuju bila jasa operator dibayar
sama dengan hasil lelang. Lebih baik kami berhenti dan bubar saja
daripada mengikuti biaya lelang yang sudah sangat jelas itu tidak
benar.
Komponen biaya yang diajukan oleh pemenang lelang sangat tidak
realistis dan mereka melakukan dumping," ujar Oka.

JTM berencana menggugat Lorena dan Primajasa ke Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) bila pemprov tak segera membuat keputusan yang
menguntungkan para pihak.
Tak berkomentar

Saat dihubungi semalam, jajaran BLU Transjakarta tidak bisa dimintai
konfirmasi. Kepala BLU Drajat Adhyaksa; Kasubag TU dan Keuangan, Anton;
maupun Manager Operasional Sarana dan Prasarana Taufik Widyanto; tidak
bisa dihubungi. Kepala Dinas Perhubungan DKI Moch Tauchid juga tidak
mengangkat HP-nya.

Sementara itu, Kepala Humas dan Protokol DKI Purba Batubara Hutapea
mengatakan, hal tersebut masih dalam pembahasan. "Kita berharap cepat
selesai agar tidak ada gangguan pelayanan," ujarnya.. Namun ia tidak
bisa memastikan keputusan akan keluar sebelum dua bulan dari sekarang.

Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta Soetanto Suhodo berpendapat,
jika dilihat secara keseluruhan, penentuan harga jasa operator busway
diatur berdasarkan Peraturan Gubernur. Jika terjadi lelang baru dan
harganya berbeda dengan harga lama, maka memang perlu ditinjau kembali.
"Perlu dikaji ulang, apakah dengan harga yang sama dengan pemenang
lelang baru operator benar-benar tidak bisa hidup," ujarnya, saat
dihubungi semalam.

Soetanto mengatakan, pokja harus mengkaji apa yang menyebabkan
perbedaan biaya operasional pemenang lelang dan konsorsium begitu
mencolok. "Misalnya pemenang lelang lama menggaji sopir Rp 2 juta
sebulan, sedang yang baru bisa menggaji Rp 1,5 juta sebulan," tuturnya.

Selain itu perlu ditinjau pula misalnya perbedaan harga komponen.
"Pemenang lelang yang baru harus dilihat lagi, jangan-jangan nggak
benar juga, murah bukan berarti lebih baik, apakah dia menggunakan
local content (komponen dalam negeri) yang lebih banyak atau
bagaimana?" katanya.

Menurut Soetanto, pemenang lelang yang baru belum mempunyai pengalaman
mengoperasikan bus kota. Oleh karena itu, keabsahan data-data harga
yang diajukan mereka sebaiknya diperiksa lagi. Hingga kini pun mereka
belum mengadakan armada untuk busway.

Hasil pengkajian dan keputusan kesepakatan harga sebaiknya dikeluarkan
sebelum dua bulan. "Memang sebaiknya sesegera mungkin, jangan sampai
nanti terjadi pemogokan sehingga masyarakat juga yang rugi," ujarnya.
Menurutnya, memang perlu dilakukan penurunan harga dari Rp 12.885/ km.
Namun jumlahnya harus disesuaikan dan jangan disamakan dengan pemenang
lelang yang baru.
(sab/pro)

agaknya kita harus lebih waspada.....